Kamis, 26 Januari 2012

Menulis cerpen


A.    Menjelaskan Unsur Intrinsik Cerpen

Setelah pembelajaran ini, Kamu diharapkan dapat mengidentifikasi unsur-unsur cerpen dan dapat menjelaskan unsur-unsur intrinsik cerpen, seperti penokohan, peristiwa, latar, tema, dan pesan. Selain itu, Anda dapat mengaitkan pesan isi cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Karya sastra, khususnya Cerpen dalam pembicaraan kita saat ini, sejatinya merupakan miniatur kehidupan yang dapat diambil banyak hikmahnya. Kita dapat mengetahui bahwa sifat seseorang bisa menimbulkan antipati atau justru simpati setelah kita membaca sebuah cerpen. Kita dapat mengetahui bahwa sebuah sebab dapat menimbulkan kebaikan atau keburukan tanpa harus mengalaminya sendiri. Membaca cerpen memberikan banyak manfaat bagi kita untuk bercermin tentang kehidupan, memperkaya pengalaman dan menemukan hal-hal yang baru.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Guru yang tak pernah memarahi dan guru yang paling sabar, oleh karena itu wajib kiranya kita meluangkan waktu membaca cerpen secara berkala. Sebagai pembuka mari kita simak cerpen di bawah ini bersama-sama.
Darmon
Karya Harris Effendi Thahar

Dari suara dan sopan santunnya menyapa, saya cukup simpati. Tetapi melihat tampangnya, pakaiannya, dan bungkus rokok yang sekilas saya lihat di kantung kemejanya, saya kurang berkenan. "Saya Darmon, teman anak Bapak, Maya, yang mengantar malam-malam sehabis demo tempo hari." "Oh, ya? Saya tidak ingat kamu waktu itu.Tetapi, saya pikir Maya masih belum pulang dari kampus. Mau menunggu?" tawar saya tanpa sengaja dan saya berharap dia cepat-cepat pergi. Tetapi, tampaknya dia lebih lihai dari yang saya duga. "Tidak apa-apa Pak, kebetulan saya sudah lama ingin ketemu Bapak, ngomong-ngomong soal sikap pemerintah terhadap gerakan reformasi oleh mahasiswa."
"Oh, apa tidak salah? Saya kan bukan pejabat, cuma pegawai negeri biasa," kilah saya sambil terus menyiram pot-pot bonsai kesayangan saya di teras.
"Justru itu, Pak. Kalau Bapak seorang pejabat atau bekas pejabat, pasti Bapak terlibat KKN dan tidak suka dengan saya karena saya salah seorang dari mahasiswa yang ikut mendemo pejabat teras di daerah ini."
Entah bagaimana, saya merasa tersanjung dan mulai simpati pada anak muda itu, meski dalam hati bercampur rasa was-was kalau-kalau dia ternyata pacar Maya. Lebih jauh lagi, rasanya, Maya tak pantas pacaran dengannya. Setidaknya, menurut keinginan saya, pacar Maya, yang sekarang baru sembilan belas usianya itu, haruslah tampan dan kelihatan punya wawasan luas. Ini Darmon, seperti yang diperkenalkannya tadi, kelihatan tidak intelek dan lebih mirip kernet bus kota.
Ia begitu saja mengikuti langkah kaki saya memilih tanaman-tanaman kecil saya yang patut disemprot air karena kelihatan kering. Sepertinya Darmon tidak begitu tertarik dengan tanaman, malah mencecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan sekitar politik dalam negeri.
"Ngomong-ngomong, kamu jurusan apa?" "Pertanian. Budi Daya Pertanian," jawabnya datar.
Saya terkesima dan telanjur menduga ia belajar sosial politik, mulai kurang simpati karena dia justru tidak tertarik dengan hobi saya."Ngomong-ngomong, kamu tahu tidak, nama latin bonsai yang ini?" "Oh, pohon asem ini? Kalau tidak salah, Tamaridus indica."
Kalau yang ini?" uji saya lebih jauh, kalau memang ia mahasiswa fakultas pertanian. "Ini jenis Ficus, Pak. Ini sefamili dengan karet. Tepatnya yang ini Ficus benyamina."
"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?" "Bukan itu soalnya, Pak saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak. Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam keadaan liar seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang liar?" "Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi."
Diam-diam saya merasa ditemani. Saya menawarkan duduk berdua sambil minum kopi di teras. Saya ingin tahu lebih jauh apa yang ada dalam hati pemuda mirip gembel itu.
"Maaf, kalau disuguhi kopi begini, keinginan merokok saya jadi muncul. Bapak keberatan?" ujarnya. "Inah, bawa asbak rokok ke sini," desak saya kepada pembantu yang baru saja masuk setelah menghidangkan dua cangkir kopi. "Nah, itu tandanya saya tidak keberatan. Sekarang, coba kamu ceritakan keinginan kamu terhadap kondisi negara ini setelah pemilu nanti. Bapak mau tahu langsung dari aktivis reformasi."
Darmon tersenyum miring sambil menghembuskan asap rokoknya yang kelihatan mahal. Lalu ia buka suara. "Saya jadi kikuk, Bapak perlakukan saya seperti anak kecil terus." "Kamu pikir begitu? rasanya kok ndak." "Apa bedanya Bapak tanya saya begini 'Apa cita-citamu, Mon?' Sama saja kan? Maksud saya, pertanyaan Bapak itu terlalu umum."
"Mestinya saya tanya apa? Baik,begini.Menurut kamu, Mon, bagaimana prospek perekonomian bangsa Indonesia setelah pemilu?"
"Ini insting saya saja, Pak, ya. Menurut saya kalau tidak terjadi perang karena tidak puas, karena curang lagi misalnya, ekonomi kita bakal merangkak pelan sekali. Butuh waktu tiga sampai lima tahun. Kita baru bisa bangkit lagi setelah tujuh tahun," ujarnya lancar.
Saya mulai kagum dengan keberaniannya, kepolosannya, dan kelancarannya berbicara.
Selama ini tidak ada anak muda yang bicara dengan gaya selancar dan sejujur dia, apalagi anak buah di kantor. Tiba-tiba saya menginginkan anak buah saya seperti Darmon. Tidak perlu membungkuk-bungkuk dan mengucapkan maaf berkali-kali, padahal yang diterimanya adalah haknya sendiri.
Senja mulai merambat. Kami terlibat dalam percakapan yang menarik. Bahkan, ketika Maya pulang, mendorong pintu pagar, hampir-hampir tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon. Dia hanya saling tersenyum,meski saya tahu,di belakang saya mereka pasti akrab sekali. Justru Darmon pula yang mengingatkan saya tentang senja.
"Pak, sudah senja. Terima kasih atas waktu Bapak untuk saya. Saya pamit dulu."
"Bagaimana kalau Maghrib di sini saja?" terlontar begitu saja dari mulut saya. Saya  terasa telanjur, jangan-jangan dia tidak seagama dengan saya.
"Terima kasih, saya selalu mengusahakan shalat Maghrib dan Isya di masjid.  Assalamu’­alaikum."
Di meja makan, malam itu, saya mau tahu reaksi Maya. Sedapatnya saya ingin tahu aspirasi anak-anak agar tidak terlalu dalam jurang pemisah antargenerasi. Dari bacaan-bacaan, sering orang tua disalahkan karena tidak nyambung dengan keinginan anak-anak. Saya tak mau menjadi orang tua yang konyol. Oleh sebab itu, saya menanyai Maya di hadapan mamanya dan adiknya, Pada, yang kini sudah siswa SMA kelas satu.
"Kok, kamu tidak keluar lagi, Darmon ke sini kan, mau ketemu kamu, Maya."
"Ih, Papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus banyak, tuh."
"Maksud Papa, meski dia bukan pacar kamu, kalau dia datang baik-baik ingin ketemu, tidak ada salahnya ditemui sebentar. Papa tidak keberatan."
"Kan, sudah ada Papa yang melayani. Asyik lagi, pakai ketawa-ketawa ngakak. Untuk Papa ketahui, dia itu sekarang lebih banyak mangkal di markas reformasi. Kuliah jarang dan nilai semesternya anjlok semua. Orang seperti itu tidak punya masa depan, lho, Pa."
"Apa dia pemusik rock?" tanya Papa.
"Tau. Orang lain fakultas, lagi pula, saya Cuma kenal waktu demo tempo hari," jawab Maya.
"Kenapa?"
"Rambutnya panjang segitu, mestinya, dia ngerock. Zaman sekarang, rambut anak muda, kan, kayak Papa ini, cepak."
"Mama dengar sekilas tadi, dia ngomong politik tinggi sama Papa kamu di teras. Sekolah saja berantakan, kok mau-maunya omong politik. Apa dia itu bisa menyelesaikan sembako?"
"Wong, tampangnya serem, ya, Nya?" Inah ikut bicara sambil menuangkan air ke gelas istri saya.
"Ya, kamu lihat waktu ngasih kopi tadi, ya?
Mama juga tidak sudi kalau pacar kamu kumal begitu, Maya."
Saya cuma mengunyah makanan diam-diam karena kalau mama anak-anak sudah buka bicara larinya pasti ke sembako, hidup susah, makan gaji tanpa tambahan. Ujung-ujungnya, akan sampai soal saya, yang tidak pandai berinduk semang sehingga tak pernah kebagian memegang proyek, padahal sudah dua puluh tahun bekerja sebagai pegawai negeri.
"Papamu ini memang sudah dari sononya aneh-aneh," Rini, istri saya, sudah mulai seperti yang saya duga.
"Memangnya, Papa aneh?"
"Mahasiswa gembel begitu saja diajak ngobrol ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang menawarkan taktik untuk menggaet proyek, eh, malah disuruh pergi."
"Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor. Yang penting kantungnya penuh. Tidak peduli itu bukan uang nenek moyangnya. Dia itu sudah pernah kena peringatan. Untung bos kami masih kasihan. Kalau tidak, dia itu diadili," jelas saya.
"Makanya, pandai-pandai, agar kita bisa hidup agak lumayan."
Saya cepat-cepat mencuci tangan, meski masih tersisa nasi dan lauk di piring. Saya mau cepat-cepat ke teras, mendinginkan suhu badan di bulan Februari yang panas, setelah hampir enam bulan tidak diguyur hujan.
"Moneter, ya, moneter, orang-orang hidup pada senang juga. Papa kalian? Jangankan memperbaiki mobil, malah dijual. Sekarang, rasain, tiap pagi berebut bus kota."
Saya merasa bersyukur, istri saya tukang protes sejak dulu. Kalau tidak, mungkin saya sudah tidak bergairah lagi bekerja. Saya tidak perlu bersedih karena menurut saya, masih banyak orang Indonesia yang hidupnya memalukan, meskipun berpendidikan lumayan.
Sebagai kepala subbagian, saya selalu datang tepat waktu. Seperti biasa, selalu saja  saya orang pertama, itu biasa. Tetapi ketika lewat di meja Sanip, saya jadi marah.Ternyata, surat edaran yang saya suruh kirim atas nama bos masih bertumpuk di mejanya. Begitu saya melihat batang hidungnya, langsung saya tuntut.
"Hei, edaran itu belum juga kamu kirim?"
"Ya, ya, Pak. Pagi ini, saya suruh Mardambin mengirimnya."
"Janji, ya?"
"Janji, Pak."
"Kamu sudah ngopi?"
"Sud…eh, belum Pak."
"Ke kantin, ayo, ikut saya."
"Terima kasih, Pak. Saya ikut!"
Saya mau tertawa, tetapi saya tahan. Tiba-tiba saya ingin menggantinya dengan  Darmon. Dan, tiba-tiba pula, sewaktu minum kopi di kantin saya katakan pada Sanip agar dia meniru vitalitas kejujuran dan keberanian seperti Darmon.
"Darmon yang mana, Pak?"
Saya tertawa. Kali ini, tidak bisa saya tahan. "Ada anak muda, mahasiswa, aktivis reformasi, tukang demo dan kelihatan kumal, serta rambutnya tak terurus, tetapi dia pintar."
Sanip memandang wajah saya, seperti ada sesuatu yang hendak dikatakannya. Sanip menghirup kopinya pelan-pelan, lalu membuang pandang jauh ke depan, menembus tembok kantor.
"Mengapa kamu, kok, sedih amat kelihatannya, Nip?"
"Habis, Bapak menyindir saya."
"Kenapa? Kamu tersinggung, ya? Meski saya atasan kamu, usia kita, kan, hampir sama. Kamu jangan sungkan-sungkan berkata jujur seperti Darmon yang saya kenal itu."
"Saya, memang, cuma tamat SMA, tidak sarjana seperti Bapak. Tetapi saya ingin anak saya jadi sarjana. Dia lulus UMPTN di fakultas pertanian. Tetapi kini, saya tak sanggup membiayainya lagi hingga semester ini dia istirahat kuliah. Kasihan dia!"
"Siapa anakmu?"
"Darmon!"
Sumber: Kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala, cerpen pilihan Kompas, 2000

*      Menganalisis Cerpen

Setelah membaca cerpen "Darmon" tersebut, Anda tentunya sudah mempunyai gambaran mengenai unsur-unsur tema, tokoh, latar, dan pesan yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan uraian tentang tokoh dan penokohan, tokoh Darmon merupakan tokoh utama karena dialah yang menjadi sumber percakapan, sengketa, penyebab munculnya suatu peristiwa, dan penentu alur dalam cerita. Penokohan terhadap Darmon cukup menarik karena secara bentuk lahir ia tampak kumal dan mirip gembel, tetapi ia baik, cerdas, dan memiliki cita-cita mulia. Selain itu, Darmon juga dapat disebut tokoh protagonis mengingat kelebihan dan perilaku baik yang ia miliki. Tokoh protagonis adalah tokoh utama dan biasanya memiliki watak yang baik. Sementara tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang tokoh utama. Keunikan tokoh Darmon juga dapat diidentifikasi dari jalan pikirannya yang tergambarkan dalam percakapannya dengan tokoh aku, misalnya pada percakapan berikut.

"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak. Saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak.Tidak mungkin saya menggandrungi tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam keadaan liar seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang liar?"
"Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi."

Dari percakapan tersebut, terlihat bahwa jalan pikiran Darmon sulit ditebak sehingga penuh kejutan. Dia juga tampak dingin dalam menghadapi peristiwa, yaitu saat bertemu Maya, padahal tujuan utama dia berkunjung adalah bertemu Maya.
Perhatikan kutipan berikut.
Bahkan ketika Maya pulang, mendorong pintu pagar, hampir- hampir tidak menjadi perhatian benar bagi Darmon."

Tokoh aku, Maya, Rini, dan Sanip adalah tokoh-tokoh yang membentuk konflik. Tokoh aku adalah seorang pegawai negeri yang jujur. Adapun tokoh Rini (istri tokoh aku) adalah orang yang hanya mementingkan hal material. Hal itu terlihat dari percakapan mereka berikut.
"Mahasiswa gembel begitu saja diajak ngobrol ngalor-ngidul. Akrab lagi. Kemaren ini, Sanip datang menawarkan taktik untuk menggaet proyek, eh, malah disuruh pergi."
"Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor.Yang penting kantungnya penuh. Tidak peduli itu bukan uang nenek moyangnya. Dia itu sudah pernah kena peringatan. Untung, bos kami masih kasihan. Kalau tidak, dia itu diadili," jelas saya.
"Makanya, pandai-pandai, agar kita bisa hidup agak lumayan."

Tokoh Rini dan Sanip dapat disebut juga sebagai tokoh antagonis karena perilakunya negatif. Demikian juga, tokoh Maya yang melecehkan tokoh Darmon.
"Ih, papa. Orang begitu saja dilayani," jawabnya.
"Jadi, dia bukan pacar kamu?"
"Amit-amit, Pa. Kalau yang begituan, di kampus banyak, tuh."

Tokoh aku berperan dalam mengantarkan cerita. Tokoh Rini berperan dalam membentuk konflik. Adapun tokoh Sanip sangat berperan dalam membentuk akhir cerita yang mengejutkan dan menggantung. Sama sekali tidak diduga bahwa Darmon ternyata anak Sanip. Alur menggantung karena berakhir pada klimaks dan tidak ada penyelesaian. Misalnya, tidak diceritakan bagaimana nasib tokoh Darmon dan Sanip selanjutnya.
Apakah Anda mempunyai pendapat lain mengenai peran tokoh-tokoh dalam cerpen "Darmon"? Kemukakan pendapat Anda dan diskusikanlah dengan teman-teman Anda.
Setelah mengidentifikasi penokohan dan alur, Anda dapat menanggapi cerpen tersebut. Misalnya, seperti tanggapan berikut.
1.      Dalam ruang yang sempit, cerpen "Darmon" mampu mengungkapkan banyak hal besar, yaitu masalah reformasi, korupsi, perilaku mahasiswa yang beragam, perilaku pegawai negeri selaku pelayan masyarakat, serta lingkaran antara perjuangan reformasi dan tuntutan memenuhi kebutuhan hidup. Hal itu terlihat dalam tokoh Darmon seorang mahasiswa pejuang reformasi berayahkan Sanip, pegawai negeri yang seringmelakukan tindak korupsi.
2.      Dialog antara tokoh aku dan Rini kurang intens sehingga konflik yang terbangun kurang mencuat. Akibatnya, cerita terkesan berjalan datar dan memuncak pada akhir cerita.
Cerita para tokoh dalam cerpen tersebut dapat dijadikan sebuah pelajaran yang amat berharga bagi kita. Bagaimana menyikapi suatu permasalahan seperti yang terjadi antara tokoh cerpen tersebut merupakan sebuah pelajaran berharga yang didapatkan dari sebuah kegiatan membaca cerpen.

Kaidah Bahasa
Di dalam cerpen "Darmon", terdapat kalimat Setidaknya, menurut saya, pacar Maya, yang sekarang baru sembilan belas usianya itu, haruslah tampan dan kelihatan berwawasan luas.
Kalimat tersebut menimbulkan makna ganda.
a.    Orang yang baru sembilan belas usianya adalah Maya.
b.    Orang yang baru sembilan belas usianya adalah pacar Maya
Kalimat yang menimbulkan makna ganda disebut kalimat ambigu. Agar tidak ambigu, kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat berikut.
Setidaknya, menurut saya, adalah Maya, yang sekarang baru berusia sembilan belas tahun itu, memiliki pacar yang tampan dan kelihatan berwawasan luas.
Contoh kalimat ambigu yang lain adalah:
Tangan kanan ketua organisasi pemuda itu sakit.
Kalimat tersebut dapat menimbulkan makna ganda karena adanya makna konotasi dan denotasi dari kata tangan kanan.
a.    Tangan sebelah kanan ketua organisasi pemuda itu sakit (makna denotasi).
b.    Orang yang menjadi kepercayaan ketua organisasi pemuda sedang sakit (makna konotasi).

Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik cerpen sebagai berikut.
a.    Tema merupakan ide pokok yang mendasari suatu karya sastra.
b.   Amanat dan Pesan merupakan pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karya sastra.
c.    Alur atau Plot merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi dalam sebuah karya sastra.
Tahap-tahap alur secara sederhana yaitu:
a. permulaan            d. puncak atau klimaks
b. pertikaian             e. peleraian
c. perumitan             f. akhir
Macam-macam alur dalam cerpen.
a.       Alur berdasarkan urutan waktu
1.    alur kronologis/ alur maju/ alur progresif
2.    alur tidak kronologis/alur mundur/alur regresif/alur flash back
3.    alur campuran
b.      Alur berdasarkan jumlah
1.      Alur tunggal
2.     Alur ganda
c.       Alur berdasarkan kepadatan/kualitatif
1.      Alur erat
2.      Alur longgar
D.  Penokohan merupakan pemberian sifat atau karakter pada tokoh dalam karya sastra.
Macam-macam metode untuk menggambarkan penokohan sebagai berikut.
a.       Secara langsung/ analitik
b.      Secara tidak langsung/ dramatik
1.      Digambarkan melalui tempat atau lingkungan sang tokoh.
2.      Digambarkan melalui percakapan sang tokoh atau tokoh lain.
3.      Digambarkan pikiran sang tokoh atau tokoh lain.
4.      Perbuatan tokoh
E.  Macam-macam tokoh
1.      Dilihat dari peranan/ tingkat pentingnya
a). Tokoh utama
1). Tokoh protagonis
2). Tokoh antagonis
b). Tokoh tambahan
2.      Dilihat dari wataknya
a). Tokoh sederhana (flat character)
b). Tokoh bulat/ kompleks (round character)
F. Latar merupakan keterangan atau rujukan tempat, waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita.
Macam-macam latar sebagai berikut.
1.      Latar tempat
2.      Latar waktu
3.      Latar situasi

G. Sudut pandang merupakan cara pengarang menyebut tokoh dalam karyanya.
Macam-macam sudut pandang sebagai berikut.
1.    Sudut pandang persona ketiga ”dia”
a.       “Dia” maha tahu (author-omniscient)
b.      “Dia”terbatas atau “Dia” pengamat (author-observer)
2.    Sudut pandang persona pertama ”aku”
a.       “Aku” tokoh utama (author-partisipant)
b.      “Aku” tokoh tambahan
3.    Sudut pandang campuran ”ku” dan ”dia”
H.  Konflik yang terjadi dalam cerpen. Konflik merupakan masalah yang dihadapi tokoh dalam cerita.

Uji Materi
a.       Buatlah sebuah kelompok yang terdiri atas tiga orang.
b.      Bacalah cerpen berikut dengan teliti.
c.       Identifikasilah unsur-unsur yang ada dalam cerpen tersebut.
d.    Diskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut.

Lempengan-Lempengan Cahaya
Oleh: Danarto
Sebagai lempengan cahaya, ayat-ayat itu meluncur dengan kecepatan di luar batas angan-angan. Udara, awan-gemawan, cuaca, terang, gelap, dan bau-bauan memandang ayat-ayat itu penuh kegembiraan. Udara, tempat percampuran segala zat, seperti memperoleh zat baru setelah dilewati ayat-ayat itu. Cuaca lalu menerbitkan warna begitu ayat-ayat itu melintas, suatu warna yang tidak bercampur dengan warna-warna yang sudah disapukan sebelumnya, seluas langit. Suatu warna bintang terang yang berbinar-binar, yang langit tidak mampu menangkap kecepatannya.
Ayat-ayat itu tiba-tiba saja sudah berada di ujung, ditandai dengan ledakan cahaya besar tanpa bunyi.
“Saya merasakan seperti tidak bergerak,” kata Al-Fatihah.
“Apakah karena kecepatan kita yang luar biasa?” sahut Ayat Kursi.
“Apakah kita benar-benar melakukan pengembaraan?” kata Surah Ali Imran.
“Saya merasakan apa saja yang kita lewati menyambut kita penuh kegembiraan.”
“Rasanya kegembiraan itu sebuah nyanyian besar.”
“Yang memenuhi langit.”
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, percampuran antara suasana-warna-bunyi, yang senyata-nyatanya, yang meneduhkan mata, menyedapkan pembauan, dan empuk di telinga, lalu-lalang di tenggorokan sama leluasanya lewat lubang hidung, membuat segalanya ringan.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, yang rata, yang tanpa dimensi, yang tak ada jarak, jauh dan dekat satu jangkauan, semua sisi benda terlihat, semua sama besarnya, semua nyaring bunyinya, semua dalam kedudukan yang mengambang,tembus mata, dalam suatu kepekatan warna.
Apakah pernah terlintas suatu cuaca yang seperti itu, di antara bunyi-bunyian dan kediaman, benderang tanpa bayangan, warnanya silih berganti, yang kabut menjadi kelambu, yang embun menjadi permadani, suatu pemandangan mengambang yang setiap saat siapa pun dapat berhenti tanpa menginjak sesuatu dan tanpa jatuh meluncur.
“Apakah ini, yang melintas sebagai lempengan-lempengan cahaya?” tanya sapuan warna.
“Kami adalah ayat-ayat suci,” sahut Al-Fatihah, Ayat Kursi, dan Surah Ali Imran bersamaan.
“Alangkah berbahagia kalian,” kata sesayup bunyi.
“Apakah kami nampak seperti itu?” tanya ayat-ayat itu.
“Kalian nampak jauh lebih baik lagi,” kata seberkas udara.
“Kalian bernyanyi,” sambung sebersit bau.
“Apakah kami kedengaran bernyanyi?”
“Kalian nampak lebih dari itu.”
“Dari mana mau ke mana kalian?”
“Kami dari Lauhul Mahfus, dengan tujuan bumi.”
“Jadi selama ini kalian ada dalam pingitan?”
“Ya. Dan masih banyak sekali yang lain.”
“Saya lalu ingat, pernah pula berduyun-duyun ayat-ayat suci meluncur dari ketinggian yang tak terbayangkan, menuju bumi yang hijau royo-royo.”
“Kapan itu?”
“Jauh. Jauh. Jauh sekali sebelum pengembaraan kalian ini.”
“Enak ya ditugaskan di bumi.”
“Di antara para pembangkang Tuhan?”
“Di antara para pembangkang Tuhan.”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan?”
“Di antara gerombolan yang saling bermusuhan.”
“Di antara ambang kehancuran?”
“Di antara ambang kehancuran.” Sapuan warna memoles langit dengan hijau sesayup bunyi menghantarkan suara.
Seberkas udara meniup suasana Sebersit bau mengantar pengembaraan Ayat-ayat meluncur jauh, semakin jauh. Semua benda yang mengisi langit mengucapkan selamat jalan Yang padat, yang cair, mencarikan jalan memasukkan gelap ke dalam terang menghembuskan harum ke seluruh bentangan merentang cakrawala biru kuning hijau ungu merah hitam berbaris rapi dan lurus.
“Kami, bintang-bintang, menyibak. Menebas rintangan, membuka jalan,” seru kelompok bintang ketika menyaksikan ayat-ayat suci itu meluncur. “Salam sejahtera,” balas Ayat-ayat itu.
“Semoga kedamaian melimpah,” seru Awan gemawan. “Semoga keseimbangan tetap terjaga,” balas Ayat-ayat itu. “Kalian menuju bumi?
“Kami menuju bumi.” “Bumi yang hijau.” “Bersimbah merah.” “Bumi yang subur.” “Yang digerogoti gersang.” “Pangkalan terakhir kalian.” “Sebelum menuju kekekalan.” Bintang-bintang saling beranggukan tanda kegembiraan. Sesaat keseimbangan meregang, lalu teratur kembali.
Awan gemawan berarak cepat, seperti ditiup mulut langit. Kecepatan cahaya ditahan sejenak, memberi senyuman bagi yang lewat. Semburat warna berbinar-binar, suatu bias dari lempengan-lempengan cahaya yang melayang keras, bias yang beruntun, bersusun, yang sejauh mata tak dapat menjangkaunya.
Ayat-ayat itu menyapu bersih suasana, apa pun yang digambarkannya. Suasana tenteram, suasana nyaman, suasana syahdu, ayat-ayat tidak memerincinya. Setiap sibakan yang dilalui ayat-ayat itu mengepul-epul, tanpa sesayup bunyi terdengar. Kesyahduan seperti ini barangkali bagi manusia justru menakutkan, sejauh ini setiap gerak-gerik manusia selalu diikuti suara-suara, sekecil dan selemah apa pun. Benda-benda wadag, sekalipun bernama manusia, rupanya hanya dapat bergaul dengan suara-suara yang agal saja. Ini tentu persaudaraan sejenis, hanya bentuk saja yang berbeda.
Ayat-ayat suci itu ketika memasuki atmosfir menimbulkan suara gemuruh. Gurun dan gunung-gunung batu terbakar. Binatang-binatang padang pasir — berbagai jenis yang melata maupun yang terbang — berkaparan. Oase-oase mendadak kering kerontang. Pohon-pohon korma yang mengelilinginya hangus jadi patung arang. Melihat pemandangan ini, padang pasir itu miris. Segerombolan awan tidak kuasa menahan sedu sedannya, memohon kepada Tuhan:
“Ya, Allah, tidak mungkin dibiarkan pemandangan yang mengerikan ini berlangsung lama. Tidak sesuatu pun akan kuat menatapnya.” “Apa sesungguhnya yang ingin kamu lakukan?” jawab Allah. “Hanya Allah Yang Mahatahu,” seru Awan.“Baiklah,” kata Allah, “Wahai awan, sedotlah air laut sebanyak-banyaknya. Lalu semburkan air itu ke seluruh padang pasir ini dengan menyebut nama-Ku lebih dahulu.”
Secepat kilat segerombolan awan itu melesat mencari lautan. Dari atas lalu disedotnya laut itu selahap-lahapnya. Sebagai pilar yang amat besar yang menyangga langit, air laut yang disedot awan itu nampak gilig putih, kokoh menunjang angkasa. Dan segerombolan awan itu lalu mengucap, “Dengan nama Allah Yang Mahapengasih-Mahapenyayang,” lalu menyemburkan air laut itu ke segala jurusan padang pasir yang membentang di bawahnya.
Padang pasir itu menerima curahan hujan dengan kegembiraan yang sangat. Segalanya lalu kembali seperti sediakala. Gurun dan gunung-gunung batu menjadi berkilau kembali. Binatang-binatangnya hidup kembali. Oase-oasenya menyemburkan air kembali. Dan batang-batang korma menghijau kembali.
Nabi Muhammad yang sudah memulai masa kenabiannya mendengar suara gemuruh itu. Sering juga terdengar suara gemerincing. Lalu wahyu itu diterimanya begitu berat hingga peluh Rasulullah bercucuran sebesar biji jagung, sekalipun di malam hari yang dingin. Segala puja dan puji hanya bagi Allah Subhanahu Wataala, yang menciptakan dan memelihara alam semesta seisinya.
Ketika ayat-ayat itu sudah dikenal luas seantero benua-benua, dan dibaca berulang-ulang oleh ratusan juta orang yang melakukan salat, lempengan-lempengan cahaya itu terus meluncur. Mereka terus mengembara. Seolah-olah kewajiban yang dibebankan ke pundak mereka tak selesai-selesainya. Suatu tugas abadi. Ayat-ayat itu agaknya ingin kekal di dalam pengembaraan-nya. Dengan kecepatan sekejap mata untuk ribuan kilometer, ayat-ayat itu tiba-tiba muncul di depan orang per orang, di kerumunan pengajian, di masjid, di pasar, di kantor, di stasiun, di hotel, di bengkel, di sawah, di pabrik, di rumah-rumah, di hutan, di gunung, di telaga, di tempat-tempat persembunyian.
Setiap kali ayat-ayat itu muncul di depan orang-perorang maupun di kerumunan pengajian, seolah-olah menantang meski kemunculannya yang tiba-tiba itu selalu disertai kerendahhatian. Begitulah orang-orang menjadi terperangah. Merasa ditatap dengan sejumlah syarat, meski ayat-ayat itu tak pernah mengajukan apa-apa sebagai apa-apa. Lalu orang-orang menjadi sibuk. Menjadi kecanduan kerja, padahal mereka dulunya biasa-biasa saja. Orang-orang seperti mendapat janji. Dan janji itu bakal dipenuhi. Orang-orang jadi demam. Semuanya menjadi pemburu.
Pengembaraan ayat-ayat itu juga sampai di Palestina. Ayat-ayat itu mengetuk-ngetuk pintu rumah sebuah keluarga Palestina. Ketukan itu memang terasa sangat lemah dibanding rentetan tembakan dan ledakan-ledakan yang memporak-porandakan bangunan sekelilingnya. Siapa yang peduli ketukan? Seluruh anggota keluarga yang ada di dalam rumah boleh jadi sedang bertiarap di lantai, mencoba menghindari desingan hujan peluru.
Dan pemburu-pemburu bagi berdirinya negara Palestina mendapat semangatnya dari ayat-ayat ini. Para pemburu itu sedang memperjuangkan didapatkannya tanah bagi negara Palestina, meski sebenarnya tanah itu sudah ada. Tanah itu sudah lama ada, hanya saja ada bendera lain yang sedang mendudukinya. Israel bukanlah Israel kalau ia tidak Israel.
Sumber: Horison, Tahun XXIII, no 7, Juli 1988, hal. 230 – 232
Tugas Mandiri
1.    Bacalah cerpen berikut dengan teliti.
2.    Identifikasilah unsur-unsur intrinsik yang ada dalam cerpen tersebut.
3.    Diskusikan nilai-nilai yang terdapat dalam cerpen tersebut.
Sumi dan Gambarnya
Karya Ratna Indraswari Ibrahim

Lukisan ini dibuat oleh seorang pelukis, yang sekarang alih profesi sebagai pedagang sebuah toko. Dia memajang lukisan itu di tengah-tengah tokonya. Menurut pemilik toko, lukisan yang dibuatnya itu adalah karya bagus yang tidak bisa dibuat lagi. Namun, harus dinikmati oleh banyak orang. Lukisan itu berbentuk seorang perempuan yang berwajah biasa. Namun, kelihatan sangat bersenang hati. Itu gambar Sumi.
Sumi sudah tidak ingat,kalau dia pernah dilukis. Sebab kini dia istrinya Bejo, lelaki sedesanya. Sumi mencintai suaminya. Ucapan suami adalah perintah bagi Sumi, yang diterimanya dengan lego lilo.
Pada suatu kali temannya, Juminten, yang bekerja di pabrik datang dan bercerita. "Hidup sebagai buruh pabrik, gajinya kecil. Tapi, aku senang, daripada menunggu uang dari suamiku, yang kadang memberi tapi lebih banyak tidak. Aku bisa jalan-jalan ke mana saja dengan uangku."
Sumi sebetulnya ingin juga mencoba, barang sebulan atau dua bulan, agar bisa beli baju dan jalan-jalan seperti Juminten. Tentu saja, Bejo tidak pernah memberi izin kepada Sumi dan dengan telak Bejo bicara kepada Juminten, "Kalau suamimu mengizinkan kau kerja di pabrik, itu urusannya.Tapi, kau paham kan kalau Sumi itu hakku."
Ketika Bejo berkata begitu kepada Juminten, di tempat yang lain, pemilik lukisan bercerita ke seorang langganannya, mahasiswi yang suka ngebon di tokonya. "Sumi seorang perempuan sederhana yang sangat menikmati hidup ini."
Mahasiswi itu menimpali, "Betul Pak, mungkin perempuan seperti dia lebih bisa menikmati hidup ini. Saya terkadang iri sebab dia bisa memecahkan kehidupan ini dengan cara yang sederhana."
Sumi yang sedang dibicarakan, baru saja ditampar suaminya. Karena Sumi masih bicara tentang keinginannya untuk bekerja di kota. "Kalau saya dengar ucapanmu lagi, kamu tahu sendiri akibatnya!"Sumi tertunduk. Dia takut sekali dengan ucapan suaminya.
Pemilik toko itu, selanjutnya berkata kepada teman bicaranya. "Saya tertarik melukis dia. Karena saya anggap dia begitu bahagia." Dan mahasiswi itu cepat-cepat menjawab, "Yah, kadang-kadang kita tidak bisa tahu lagi apa yang kita kerjakan untuk menghadapi hidup yang desak-mendesak ini."
Sementara itu, tiba-tiba Sumi ingin sekali punya anak. Dia merasa perlu memiliki anak yang pintar,agar bisa membawanya ke kota untuk belanja dan jalan-jalan. Tetapi Bejo tidak setuju dengan pikirannya. Menurut Bejo, dia kan sudah punya tiga anak dari suaminya yang terdahulu. Dan lagi Sumi sudah berjanji akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Bejo mengatakan, sebaiknya dua atau tiga tahun lagi mereka punya anak, kalau Bejo sudah punya pekerjaan yang lebih bagus. Sumi sebetulnya ingin membantah.
Seorang penggemar seni datang ke Pedagang itu, menawar gambar Sumi yang tersenyum dengan harga yang selalu diimpikan oleh setiap pelukis. Di sisi lain, di kebun jati, Sumi merasa sulit bernapas. Dia membayangkan, betapa bagusnya kehidupan orang lain. Seandainya dia punya anak dari Bejo ... Tapi memang, pada saat ini, Bejo tidak ingin punya
anak dari Sumi! Bejo sekarang, rupanya lebih suka pergi dengan perempuan lain. Menurut Bejo, Sumi tidak bisa jadi perempuan yang baik karena angan-angannya berkeliaran tentang kehidupan di kota. Padahal Bejo sudah merasa jadi suami yang baik sehingga yang salah pasti Sumi.
Mahasiswi itu sibuk memotret gambar Sumi, yang sebentar lagi dijual ke seorang kolektor. "Suatu saat, saya kepingin ketemu tokoh Bapak itu. Karena perempuan itu begitu bahagia. Sedang saya sendiri, sulit mengklarifikasi, mengarifkan, apa arti bahagia ini."
Sumi sedang bicara dengan orangtuanya, "Sebenarnya, saya takut sekali ke kota, Pak. Tetapi Bapak mestinya tahu, kalau suami saya sebentar lagi akan menikah dengan tetangga sebelah rumah." "Kamu tidak pernah mau belajar jadi istri yang baik," kata bapaknya berang.
Sumi gelagapan. Dia merasa salah dan tidak tahu apa yang bisa diucapkan kepada bapaknya. Rasanya dia begitu jenuh pada Bejo, tapi dia sendiri tidak bisa menerangkan, jelasnya bagaimana?
Sumi ke kota, sebagai buruh pabrik. Di antara jam-jam kerja, dia merindukan keluarganya, bahkan Bejo yang kabarnya sudah menikah dengan perempuan lain.Kedip lampu jalanan aneh, membuat dia merasa kangen dengan kebun jati, Bejo, dan desanya.
"Jadi, Sumi sudah sebulan di kota ini," kata pedagang itu. "Pak, saya ingin melihat lukisan saya. Kata Bapak, di lukisan itu saya begitu bahagia." "Maaf ya Sum, lukisan itu sudah saya jual.’­’­
Sumi tertegun Bukankah pedagang itu pernah berjanji, tak bakal menjualnya, sekali pun gambarnya ditawar mahal.Dengan kacau dia pulang ke rumah kontrakkannya yang sedang sepi. Dia tersedot pada suatu pikiran yang aneh. Apakah mungkin Bejo dan pelukis ini yang membuat dia tidak sesenang dulu? Cepat-cepat pikiran itu segera dimatikan. Dia ingin kerja lebih keras seperti Juminten, agar dapat gaji lumayan. Tapi akhir-akhir ini, sering terpikir olehnya kedua lelaki itu (Bejo dan pelukis) yang pernah dicintainya. Dan keduanya kini membiarkan dia terlempar ke kamar sempit ini. Yah, Sumi memang tidak puas terhadap segala hal. Entah sejak kapan kamar kontrakan yang dihuni lima orang ini membuat Sumi sering merasa kepanasan sehingga dia sulit tidur. Padahal kerja di pabrik sangat melelahkan.
Lukisan Sumi terpampang di rumah mewah sang kolektor. Lantas, seorang bule tertarik pada gambar Sumi. Dia membelinya untuk disimpan di museum negerinya yang dingin. Menurut si Bule, lukisan itu akan mengajarkan bangsanya, bagaimana tersenyum terhadap hidup ini. Waktu itu Sumi sedang menghitung rupiahnya. Dia selalu ingin membelikan adiknya sebuah tas sekolah yang bergambar. Tapi selalu uangnya hampir tak tersisa. Oleh karena itu, dia bercerita kepada Juminten, ingin membinasakan dua orang lelaki itu. Juminten yang mendengar ucapan Sumi tertawa. Bukankah ada lelaki lain yang diam-diam mencintainya, Pardi, mandor di pabrik mereka. Menurut Juminten, Pardi lebih baik dari si pelukis dan Bejo. Sumi tidak mau ngomong. Dia mencintai dua lelaki itu. Sedang Pardi, sebaik apa pun, dia tidak pernah mencintainya.
Mahasiswi dan pedagang itu sedang terharu karena sebentar lagi, lukisan itu akan diangkut ke negeri Bule yang membelinya. Si Bule menghibur mahasiswi ini, "Saya akan merawatnya baik-baik. Siapa tahu Anda suatu hari kelak mengunjungi negeri kami. Anda akan melihat, betapa cintanya kami pada lukisan yang berwajah Anda semua. Profil yang sederhana dan bahagia." Dan gambar Sumi memang sedang tersenyum. Sedang Sumi sendiri, sedang menangis. Dia mendengar kabar dari kampung kalau Bejo sudah punya seorang anak lelaki dari istrinya yang baru. Dan lukisannya bakal diangkut ke negeri lain.
"Saya akan membinasakan mereka! Saya tidak bakal puas kalau tidak membinasakan Bejo dan pelukis itu," jerit Sumi sambil menangis. Juminten memberi nasihat, "Sudahlah Sum, pokoknya Pardi sungguh-sungguh cinta sama kamu. Buat apa mikir orang yang tidak cinta pada kita."
"’­Bukan itu masalahnya!" kata Sumi berteriak.
"Jadi apa?" kata Juminten.
Sumi sendiri tidak bisa menerangkan. Cuma saja dia merasa kebenciannya kepada kedua lelaki itu semakin melebar dan kuat.
Dan mahasiswi itu berkata kepada pedagang, "Lukisan Sumi sudah berangkat ya, Pak? Mestinya saya memberi selamat pada pelukisnya. Apakah Bapak punya minat untuk melukis kembali, setelah karya Bapak yang gemilang itu?"
Pedagang itu menggelengkan kepala. Sumi adalah masa muda yang tidak bisa kembali. Sungguh!
Sumi sedang menuju rumah pelukis. Dia akan membunuh pelukis itu lebih dahulu. Setelah itu Bejo. Kemarin pabrik menciutkan karyawan nya. Dia termasuk yang diberhentikan. Bukankah kesedihan ini tidak pernah dipedulikan oleh orang yang telah mengambil seluruh hati dan tubuhnya tanpa dia pernah menuntut imbalan?
Ketika sedang menuju rumah yang dimaksud, dia dihadang oleh Pardi. "Apa betul kau mau membinasakan orang?" Sumi tidak menjawab. Dan Pardi berjalan di sebelahnya. "Apakah itu cita-citamu? Sebaiknya kau mampir dulu ke rumahku, untuk omong-omong."
Sumi merasa malu dan capek. Lantas dia berhenti. Pardi dengan sigap berkata, Mengapa
mesti membinasakan orang lain? Mengapa kita tidak kawin saja?"
Sumi dengan heran menatap Pardi. Jadi, yang ngomong barusan bukan pelukis atau Bejo suaminya?
Sumi sudah berada di muka toko. Dilihatnya pelukis dan mahasiswi itu sedang ngobrol.
Pedagang yang melihat ekspresi Sumi, gemetar. "Sum, apa maumu dengan pisau itu. Kalau
kamu mau pinjam uang, katakanlah. Kita kan teman dari dulu. Dan saya tidak pernah bersalah kepadamu."
Sumi melihat pedagang itu dengan perasaan aneh. Benarkah dia tak punya alasan untuk membinasakan atau dendam pada lelaki yang memberinya cinta, dan menariknya kembali kala dia baru saja mengenal dunia, dan merasa jadi perempuan?
"Kalau kamu tidak keluar dari sini, saya akan lapor polisi!’­’­
Tiba-tiba Sumi merasa lemas dan keluar dari toko ini.
Bapak seharusnya tidak sekasar itu pada simbol kebahagiaan kita!" Pedagang itu tidak menjawab. Dan mahasiswi itu sendiri tidak bisa berpikir apa pun lagi.
Juminten memberi nasihat, "Kita cuma orang biasa. Tidak usah berpikir aneh-aneh. Lebih baik kau menikah saja dengan Pardi. Siapa tahu Pardi akan memberimu anak kembar."
"Entahlah Jum,saya merasa tidak bisa semudah itu. Kedua lelaki itu telah mengambil seluruh jiwa dan raga saya." Kemudian Sumi menangis dan Juminten memeluknya sembari turut menangis.
Suatu saat, mahasiswi itu berkesempatan mengunjungi negara si Bule, tempat gambar Sumi dipajang di salah satu museumnya. "Yah, saya kira Anda sekarang tahu, kan? Kami
merawatnya dengan baik sekali sehingga gambar itu masih tersenyum bahagia."
Itu memang gambar Sumi yang masih tersenyum.
Sumi sendiri sedang sulit tersenyum.Bersama Pardi dia mesti menghidupi empat anaknya.
Itu memang Sumi dan gambarnya.
Sumber: Kumpulan cerpen Sumi dan Gambarnya, 2002

B.     Menulis Cerpen Berdasarkan Pengalaman Orang lain
Setelah Pembelajaran ini, kamu diharapkan mampu: 1. Mendapatkan Ide cerita dari kehidupan orang lain; 2. Menentukan usur pembangun cerpen (pelaku, peristiwa, latar); 3. Mampu menulis cerpen berdasarkan kisah kehidupan orang lain.
Pernahkah Anda menulis cerpen? Cerpen dapat menceritakan apa saja. Dalam praktiknya, pengarang harus memiliki ketangkasan menulis dan menyusun cerita yang menarik. Di Kelas X, Anda telah mempelajari cerpen. Ada dua cara menulis cerpen bagi yang masih belajar, yaitu dengan menulis sinopsisnya terlebih dahulu dan mengamati gambar yang tersaji. Dengan cara ini, orang-orang yang tidak terbiasa dan tidak berbakat menulis cerita pendek akan mudah mengembangkan idenya menjadi sebuah cerita. Apalagi, dengan banyak berlatih menulis dan banyak membaca cerita pendek karangan orang lain, Anda pasti akan dapat menulis cerpen.
Berikut ini adalah hal-hal yang biasanya dialami oleh penulis pemula dalam menulis cerpen.
1.      Pembukaan cerpen yang panjang (bertele-tele). Sebenarnya, pembukaan tidak perlu terlalu panjang. Ada baiknya, bagi pemula, untuk membaca kembali naskah dan memotong pembuka cerpen yang dirasa sudah terwakili pada paragraf-paragraf berikutnya
2.      Penulis kadang bercerita kian kemari dan bagian terpenting justru hanya disinggung sebentar. Dengan demikian, tidak ada konsep yang matang. Sebaiknya, struktur cerpen adalah sebagai berikut: pengenalan yang ringkas, pembangunan konflik cukup jelas, luas, dan lengkap, serta pengakhiran konflik secukupnya.
3.      Penggunaan bahasa yang cukup kuno. Masih banyak penulis pemula yang menggunakan bahasa seperti pada zaman pujangga baru. Gunakanlah bahasa yang ringkas, langsung, spontan, dan hidup.
4.      Judul kurang memberikan gambaran akan apa yang diceritakan. Judul harus membangun isi. Hindarilah penggunaan judul yang denotatif (lugas). Intinya, judul harus mampu menggugah pembaca untuk membaca cerpen yang Anda buat.
Jika Anda menulis cerita pendek, jangan melupakan unsur- unsur intrinsik, seperti tema, alur, penokohan, latar, sudut pandang, dan lain-lain.
Ide untuk membuat cerita pendek dapat diambil dari kisah hidup seseorang, baik pengalaman menarik dan menyenangkan, maupun pengalaman yang menyedihkan. Berikut adalah contoh langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membuat cerpen berdasarkan kisah hidup orang lain.
1.      Carilah bagian dari kisah hidup orang lain yang Anda anggap  menarik. Bagian yang kurang menarik, atau tidak menarik sama sekali, sebaiknya diabaikan.
2.      Galilah bagian yang menarik tersebut, lalu kembangkan ceritanya sesuai keinginan Anda.
3.      Kalau perlu, carilah sudut pandang yang unik, agar cerita yang Anda tulis menjadi lebih menarik.
4.      Ikutilah langkah-langkah menulis cerpen berikut.
Langkah-Langkah Menulis Cerpen
Sebuah cerpen dapat ditulis dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1.    Mengadakan observasi atau pengamatan
Observasi dapat dilakukan dengan mengadakan pengamatan secara langsung. Selain itu, observasi dapat dilakukan dengan mengingat atau mendengarkan kejadian yang dilakukan oleh orang lain.
Contoh:
Teman Anda menceritakan peristiwa yang terjadi di pegunungan saat ia berlibur. Pegunungan itu dapat dijadikan latar tempat dalam cerpen Anda.
2.    Menentukan tema
Tema cerpen sering disebut ide cerpen. Tema dapat Anda tentukan dari hasil observasi yang telah dilakukan, misalnya kehidupan di pegunungan.
3.    Menentukan latar
Seluruh hasil observasi yang telah dilakukan dapat Anda gunakan untuk menciptakan latar. Latar yang Anda buat harus sesuai dengan tema yang Anda tentukan. Anda juga harus ingat bahwa latar terdiri atas latar tempat, latar waktu, dan latar suasana.
Contoh:
latar tempat : di pegunungan
latar waktu  : senja hari
latar suasana : menyenangkan
4.    Menciptakan tokoh
Anda dapat menciptakan tokoh dari orang-orang yang diceritakan oleh teman Anda atau orang-orang yang mengalami peristiwa yang Anda lihat. Anda dapat mengganti nama tokohnya. Anda harus menentukan tokoh utama dalam cerpen yang akan Anda buat. Jangan lupa, Anda juga harus menentukan watak dan bentuk fisik tokoh-tokoh yang Anda ciptakan.
Contoh:
Tokoh utama: Ida. Ida seorang siswa SMA yang peduli dengan lingkungan. Ia seorang wanita yang berumur tujuh belas tahun yang berambut panjang dan lurus. Kulitnya yang putih dan halus menambah kecantikannya.
5.    Menciptakan konflik
Konflik adalah pertentangan atau ketegangan dalam sebuah cerpen. Konflik dapat mengangkat masalah yang terjadi dalam peristiwa yang diceritakan teman Anda atau masalah yang terjadi dalam peristiwa yang Anda lihat. Misalnya, Anda melihat pertengkaran antaranak. Anda dapat mengangkat penyebab pertengkaran itu menjadi sebuah konflik dalam cerpen.
6.    Menentukan sudut pandang
Sudut pandang yang akan Anda gunakan harus sesuai dengan cara Anda menceritakan tokoh utama.
Contoh:
Sudut pandang persona ketiga ”ia”.
7.    Menentukan alur
Untuk mempermudah menuliskan cerita ke dalam cerpen, Anda harus menentukan alur. Anda akan menggunakan alur maju, alur mundur, ataukah alur campuran.
8.    Menulis cerpen
Kembangkanlah tema yang telah Anda tentukan menjadi sebuah cerpen. Cerpen yang Anda tulis harus memuat latar, tokoh, konflik, sudut pandang, dan alur yang telah Anda tentukan. Gunakanlah kata-kata sederhana dan komunikatif. Perhatikan pula ejaan dan pilihan kata yang Anda gunakan.
9.    Menentukan judul.
Judul dapat Anda tentukan saat akan menulis atau sesudah menulis. Judul cerpen harus sesuai dengan tema dan peristiwa-peristiwa cerpen.
Contoh:
Tema cerpen : kehidupan di pegunungan
Judul cerpen : Senja di Pegunungan

Uji Materi
Kerjakan kegiatan berikut!
Kegiatan 1
1. Ingat-ingatlah peristiwa yang pernah diceritakan oleh teman Anda!
2. Catatlah peristiwa-peristiwa tersebut!
3. Pilihlah salah satu peristiwa yang menarik bagi Anda!
4. Mintalah izin kepada teman Anda untuk menuliskan peristiwa tersebut menjadi sebuah cerpen!
5. Gantilah nama teman Anda dengan nama lain!
Kegiatan 2
1. Tukarkan cerpen karangan Anda dengan cerpen teman Anda!
2. Bacalah cerpen yang ditulis oleh teman Anda!
3. Tanggapilah cerpen teman Anda! Anda akan menanggapi isi cerpen dan bahasa yang digunakan teman Anda.
4. Kumpulkan cerpen tersebut kepada guru!